PALUI DAN NGUNGU
Kisah ini bermula dari sepasang
suami istri dengan dua orang anak laki-laki, si Palui dan si Ngungu. Seperti
anak-anak pada umumnya si Palui dan si Ngungu tumbuh dengan normal. Tubuh
mereka sehat dan badan mereka kuat. Namun daya tangkap dan daya tanggap otak
mereka sangat lemah. Orang-orang dikampung Bedungun, Berau, menamai dua anak
itu sepasabg anak Dungu. Si Palui dan
Si Ngungu tak menghiraukan olok-olokan atau risakan anak-anak seperantara
mereka, justru malah dikiranya mereka sedang dielu-elukan. Namun, lambat laun
mereka mulai dijauhi. Bila mereka datang anak-anak yang lain langsung
menghindar.
Alhasil, mereka lebih banyak bermain
berdua. Atau membantu orangtua mereka bekerja diladang. Walaupun kedua orang
tua mereka merasa malu. Namun, sepasang suami istri itu tetap mencintai dan
mengasihi anak-anak mereka. Suatu ketika, sang Ayah menyuruh si Palui dan Si
Ngungu memeriksa bubu (jarring) disungai.
“Coba kalian periksa bubu disungai,”
kata sang Ayah, “ bubu itu sudah Ayah pasang sejak kemarin. Mudah-mudahan sudah
ada ikannya. Kecil-kecilpun taka apa.”
Dengan gesit, si Palui dan si Ngungu
berlari ke Sungai. Begitu bubu diangkat, mereka amat bergembira karena banyak
ikan yang tertangkap. Mereka pun meletakkan bubu diatas tanah dan memilah
ikan-ikan tangkapan itu. Ikan-ikan yang besar mereka buang ke sungai, sedangkan
yang kecil-kecil dibawa pulang kerumah. Setiba dirumah, mereka serahkan ikan
hasil tangkapan itu. Sang Ayah dan sang Ibu tercenung melihat ikan tangkapan
mereka kecil-kecil.
“Tengok sini,” kata sang Ayah,
“kenapa ikan ini kecil-kecil?”
Si Palui menjawab dengan lantang,
“kata Ayah, kecil-kecilpun tak apa!”
Sang Ibu melongo. “Maksud
Ayahmu,”tuturnya dengan sabar, ”kalau ikan-ikan yang terjebak dibubu
kecil-kecil, ya, tidak apa-apa. Tapi, kalau yang tertangkap besar-besar, ya
lebih bagus….”
Si Palui dan si Ngungu langsung
berlari ke sungai. Dengan penuh semangat, mereka menyelam mencari ikan-ikan
besar yang mereka tadi lepaskan. Sesekali mereka muncul ke permukaan dan
berteriak memanggil-manggil ikan-ikan itu, tapi tak satupun ikan yang menyahut,
apa lagi yang datang memenuhi seruan mereka. Setiba dirumah, dengan wajah
sedih, si Ngungu menceritakan kegagalan mereka. Sang Ibu tersenyum penuh kasih
menerangkan dengan perlahan. Begitulah. Lambat-laun, si Palui dan si Ngungu
mulai mengerti. Setiap hari mereka ke tepi sungai, mengangkat bubu dan
memeriksa hasil tangkapan. Tak pernah lagi mereka salah. Tak mau lagi mereka
gegabah. Kecil atau besar ikannya mereka bawa pulang.
Ketika hasil tangkapan itu makin
banyak melebihi kebutuhan makan mereka, sang ibu
berkata, “bawalah sisa ikan kita ke pasar.”
Dengan
cekatan, tulang-tulang dan sisa-sisa ikan yang mereka makan dibungkus dengan
rapid an dibawa ke pasar. Ternyata tak ada seorang pun yang sudi membeli sisa
ikan-ikan itu. Sekembali dari pasar, si Palui menceritakan pengalaman dipasar
itu kepada ibunya.
Sang
Ayah menjawab dengan sabar, “ Maksud ibumu bukan ikan yang bekas kita makan.”
Dia menarik napas, dan berkata, “ besok, tidak semua ikan hasil tangkapan kita
masak. Sebagian ada yang disisihkan untuk kalian jual ke pasar.”
Sang
ibu menambahkan, “ Uangnya dibelikan garam buat sayur.”
Keesokan
harinya, mereka kepasar menjual ikan segar. Kali ini, dalam waktu singkat, ikan
mereka laris terjual. Mereka sangat bergembira, tertawa-tawa dan menari-nari
ditengah pasar. Orang-orang berkerumun menyaksikan tingkah mereka, lalu
satu-satu melipir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Si Palui dan si Ngungu
bergerak ke penjual garam. Seluruh ikan hasil penjualan ikan dibelikan garam.
Dua karung. Satu dipangggul Palui, dan yang satu lagi dipanggul Ngungu.
Setiba
dirumah, sang ibu sudah menunggui kedatangan mereka. Dia heran melihat si Palui
dan si Ngungu tidak membawa apa-apa. “dimana ikan kalian?”
“Habis,
Bu,” jawab si Palui.
“Uangnya?”
“kami
belikan garam dua karung,”jawab si Ngungu.
Sang
ibu terheran-heran.
“Sepanjang
jalan,” imbuh si Palui “ kami mencari kebun sayur dan menaburkan garam disana.”
Sang
ibu terkesima. “ Maksud Ibu, tidak semua hasil penjualan itu dipakai buat beli
garam. Sedikit saja. Garamnya juga bukan untuk kebun sayur orang lain. Itu buat
ibu masak sayur, biar sayurnya tidak hambar…”
Si
Palui dan si Ngungu terkejut mendengar jawaban sang Ibu. Merasa bersalah,
mereka langsung berlari menyusurijalanan yang tadi mereka lewati. Saat itu
hujan deras sekali. Namun mereka tak peduli, terus berlari mencari kebun-kebun
sayur tempat mereka menaburkan garam. Ketika melihat kebun yang dia cari,
mereka langsung masuk dan mencari garam-garam yang mereka taburkan. Ketika
melihat kebun yang dicari mereka langsung masuk dan mencari garam-garam yang
sudah mereka taburkan ke segala arah. Mereka cabuti sayur-sayuran, tak sebutir
garampun yang mereka temukan.
“Aneh,”
desis si Palui, “ kemana garam-garam itu?”
Si
Ngungu menyaka dahinya, mengusir butiran hujan yang mengalir kepipi. “Pasti
sayur ini mau bikin malu kita, Bang.” Kemudian, dengan penuh amarah, tak peduli
denhgan hujan yang mulai deras, mereka cabuti sayur-sayuran dikebun itu. Mereka
periksa batang dan akarnya begitu terus sampai tak tersisa satu batangpun.
Kemudian mereka pindah ke kebun sebelah dan merekapun melakukan hal yang sama,
masih juga mereka tak menemukan sebutir garampun sampai hujanpun mereda. Dengan
muka letih dan basah kuyup, mereka pulang kerumah. Alangkah kaget mereka
mengetahui halaman rumah mereka dipenuhi banyak orang. Sang Ayah dan Sang Ibu
sibuk meminta maaf, berharap para pemilik sayuran memaklumi ketidak pahaman
anak-anak mereka. Orang-orang itu berbalik sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Begitu halamn rumah kosong tinggal sang Ayah dan sang Ibu mereka keluar dari
persembunyian.
Pesan
yang tersirat dalam cerita diatas adalah bahwa kita menjadi orang tidak boleh
seperti si Palui dan Si Ngungu yang tergesa-gesa dan sembrono. Kita seharusnya
menjadi orang yang tenang serta ketika kita berguru tidak boleh kepalang atau
setengah-setengah karena apa? Kalau kita berguru hanya setengah-setengah maka
ilmu yang kita dapatkan sepotong-sepotong dan akan meyebabkan banyak kesalahan
apalagi kalau ilmu itu sampai ditularkan kepada orang lain akan menyebabkan
perpecahan akibat kelalaian seseorang yang menuntut ilmu hanya
setengah-setengah.
Komentar
Posting Komentar