Mabrur Tanpa Menunaikan Ibadah Haji




Kali ini saya akan menceritakan sebuah kisah inspiratif yang saya dapatkan ketika mengaji di Ponpes Assabiila Patemon, Gunungpati, Semarang.
Kisah ini ingin saya bagikan kepada publik lantaran pertanyaan menggelitik dari seorang teman kuliah saya yang bernama Al Fatih (bukan nama sebenarnya). Ketika itu kami sedang mengikuti mata kuliah Filsafat Matematika. Seperti biasa kuliah pagi itu dimulai dengan beberapa orang yang maju mempresentasikan makalahnya dengan Tema dan judul yang tentunya berbeda. Kala itu temanku yang bernama Najikha (bukan nama sebenarnya) mempresentasikan judul makalah “Matematika dan Al-Qur’an”. Ketika presentasi sedang berlangsung tiba-tiba Al- Fatih bertanya padaku mengenai Haji dan hubungannya dengan Rukun Islam. Langsung saja akan saya ilustrasikan dialog yang terjadi pagi itu dengan Al- Fatih.
“Begini Meis aku punya pertanyaan padamu, Ibadah haji merupakan salah satu rukun iman yang kelima, Bagaimana menurut kamu jika ada seseorang yang belum sempat atau tidak dapat menunaikan ibadah haji?” Tanyanya dengan nada penasaran
“Menurut saya, seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji adalah seseorang yang telah mampu, baik secara dzohir (materi, kesehatan badan, dll) maupun bathin, jadi seseorang tidak diwajibkan melaksanakan ibadah haji jika memang dia belum mampu” Jawabku sederhana
“Iya saya faham akan hal itu, tapi kamu tahu bukan bahwa ibadah haji adalah salah satu rukun islam? Dan kamu juga tahu bukan definisi rukun islam itu apa?” Bantahnya
“ Iya saya tahu, lantas apa yang kamu permasalahkan dengan hal itu kalau kamu telah memahaminya?” jawabku singkat
“Bukankah rukun islam adalah suatu hal yang harus dipenuhi oleh setiap muslim? , dan jika tidak dipenuhi bukankah agamanya belum sempurna, karena kita melihat dari definisi rukun islam adalah suatu dasar yang wajib dijalankan oleh setiap pemeluknya?”
“Iya itu benar, tapi bukankah tadi sudah saya dijawab diawal bahwa salah satu syarat ibadah haji juga mereka yang telah ‘mampu’ baik dzohirnya maupun bathinnya. Inilah bedanya ibadah haji dengan ibadah-ibadah lainnya.” Imbuhku.
“Oh gitu ya, oke terimakasih” jawabnya dengan nada tidak puas.
Dari sepenggal percakapanku denganya pagi itu membuatku berfikir ulang mengenai hal tersebut, karena mungkin ketidak jelasan saya dalam menjawab atau mungkin kurangngya khazanah ilmu yang saya miliki sehingga jawaban yang saya berikan kurang memuaskannya. Alhasil saya berniat menanyakan hal tersebut kepada guru ngaji saya dipesantren, karena kebetulan di Semarang selain kuliah saya juga nyantri.
            Bagaikan tumbu ketemu tutup, begitulah ibarat peribahasan yang pas menggambarkan keadaku sore itu dipesantren. Belum sempat niatku bertanya mengenai hal yang telah ditanyakan temanku Al Fatih selasa kemarin mengenai bab haji, tiba-tiba Ngaji Kitab Tuhfattuthulab dengan Ustadz Nurchan sore itu membahas mengenai bab Haji. Ustadz Nurchan menjelaskan bahwa:
Seseorang yang melakukan ibadah haji merupakan seseorang yang telah mampu:
1.      Mampu membayar haji atau ONH
2.      Mampu membawa teman bagi seseorang yang buta
3.      Mampu membawa mahrom bagi seorang wanita, mahrom disini yang dimaksud bukan seseorang yang tidak boleh dinikah melainkan mahrom yang dimaksud adalah seseorang yang mampu melindungi wanita tersebut ketika sedang berhaji, baik itu suami, anak, orangtua, teman wanitanya maupun pembantunya.
4.      Mampu mencukupi kebutuhan keluarga yang ditinggalkannya selama berhaji.

Setelah Ustadz Nurhan menjelaskan panjang dan lebar mengenai haji, tiba saatnya beliau membuka forum tanya jawab. Karena masih memikirkan hal yang ditanyakan teman saya maka saya tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini.  Maka saya menanyakan hal yang ditanyakan teman saya (Al- Fatih) kepada saya ke Ustadz Nurchan.
Mula-mula Ustadz Nurhan menjabarkan rukun islam dengan mengibaratkannya sebagai bangunan rumah. Ibarat Rumah Syahadat adalah pondasi, Sholat adalah tiang atau pilar-pilar daripada rumah tersebut, zakat adalah ventilasi dan jendela-jendelanya, Puasa adalah tembok yang memperkokoh bangunan rumah, sedangkan haji adalah penyempurna bangunan tersebut dengan keindahannya. Setelah mengibaratkan rukun islam kedalam bentuk bangunan rumah, Ustadz menjelaskan kembali rukun islam secara mendetail seperti penjelasan dibawah ini:
1.      Syahadat         : Setiap Muslim tanpa terkecuali. (Karena Syahadat adalah pintu
gerbang seseorang disebut dengan Muslim).
2.      Sholat              : Tidak ada alasan untuk meninggalkannya dalam keadaan apapun walaupun itu sakit. (Allah telah memberikan berbagai macam rukhsoh kepada hambaNya jika ada sebuah udzur syar’i. Misalnya saja sedang bepergian jauh, Allah mengizinkan hambaNya untuk menjama’ dan mengqoshor sholatnya).
3.      Zakat              : Wajib bagi yang mampu dan yang tidak mampu tidaklah wajib karena dalam berzakat dibutuhkan seseorang muzakki (seseorang yang mengelurkan zakat) dan penerima zakat (mustahiq).
4.      Puasa              : Wajib bagi yang mampu dan yang tidak mampu tidaklah wajib.
5.      Haji                 : Wajib bagi yang mampu dan yang tidak mampu tidaklah wajib. Bahkan Allah akan mengancam seseorang yang telah mampu berhaji namun tidak segera melaksanakan haji dengan ancaman kalau meninggal disuruh memilih mau meninggal dalam keadaan Nasrani atau Yahudi (Al Hadits). Namun sekali lagi Haji ditujukan untuk golongan yang telah mampu baik dari segi financial maupun secara ruhaniyyah. Jika seorang hamba belum mampu seyogyanya tidak usah dipaksakan. Karena ketika ada seorang muslim menunaikan sholat jum’at secara terus-menerus dengan lillahita’ala maka tak lain pahalanya sama dengan pahala berhaji.

Begitulah kiranya jawaban Ust. Nurhan mengenai rukun iman dan Haji. Intinya seseorang yang tidak mampu dalam segi financial tidaklah diwajibkan untuk menunaikan haji secara dzohiriyah (menunaikan haji kemakkah al mukarromah).

Selanjutnya saya akan menceritakan ihwal dari judul yang saya buat diatas dengan sebuah cerita yang berbeda yang diceritakan oleh Pengasuh Pesantren Assabiila.
Cerita ini berawal dari seorang pemuda bernama Abdullah. Beliau adalah seorang tukang sol sepatu yang sudah lama sekali mengumpulkan uang untuk pergi  ke Baitullah. Beliau adalah orang yang mempunyai keinginan keras untuk segera melaksanakan ibadah haji, Usianya pun sekarang tak muda lagi ketika uang yang telah lama ia kumpulkan dirasa cukup untuk biaya ONH. Kemudian ia berniat untuk segera mendaftrakan dirinya pergi ke Baitullah esok harinya.
Malam hari sebelum Abdullah pergi mendaftarkan dirinya sebagai calon jemaah Haji, ia mendatangi majlis untuk memeperdalam khazah ilmu agamanya. Ditengah perjalanan pulang dari majlis, tiba-tiba beliau bertemu dengan sosok wanita yang sedang memasak. Entah ada suatu hal apa yang menuntunnya untuk mendekati wanita tersebut dan menanyakan hal apa yang dimasak.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara rintihan kelaparan beberapa anak wanita tersebut. Karena sudah kadung penasaran maka Abdullah mendekati wanita tersebut.
“Sedang masak apa bu? “ tanya Abdullah penasaran
 “ Saya sedang memasak sesuatu hal yang halal bagi kami dan haram bagi anda pak” jawab wanita tersebut.
Mendengar jawaban dari wanita tersebut rasa penasaran Abdullah semakin bertambah. Akhirnya dia menanyakan kembali kepada wanita tua itu.
“ Bolehkah saya melihat masakan ibu?”
“ Saya malu untuk mengatakannya pak, apalagi untuk memperlihatkannya” jawab wanita tua tersebut dengan perasaan yang sangat malu.
Karena terdesak oleh permintaan Abdullah, akhirnya wanita tersebut memperlihatkan suatu hal yang dimasaknya. Abdullah tercengang kaget karena wanita tua tersebut sedang memasak tikus. Tak kuasa melihat hal tersebut Abdullah menitikan air mata. Wanita tersebut mengatakan bahwa dirinya terpaksa memasak beberapa ekor tikus untuk anaknya yang sangat kelaparan karena sudah beberapa hari tak makan. Tak kuasa mendengar cerita wanita tersebut akhirnya Abdullah berpamitan pulang.
Hari-pun berganti esok, Abdullah mendatangi wanita tersebut dengan membawa kantong kresek yang berisi uang. Uang yang seharusnya dicita-citakan untuk ONH (Ongkos Naik Haji) tersebut diberikan kepada wanita tua dan anak-anaknya. Uang tersebut digunakan untuk membangunkan rumah, membelikan pakaian, maupun kebutuhan sehari-hari. Alhasil Abdullah tak dapat mewujudkan cita-citanya untuk menyempurnakan agamanya dengan berhaji hingga ajal menjemputnya.
Dilain waktu Makkah kala itu sedang digemparkan oleh berita dari Rasulullah yang menyebutkan seseorang yang Hajinya paling Mabrur. Semua orang-orang makkahpun ramai bertanya-tanya, kira-kira siapakah seseorang yang dimaksud Rasulullah itu.
Dikisahkan bahwa Rasulullah menceritakan seseorang yang hajinya mabrur itu bernama Abdullah, seseorang yang berhaji secara bathiniyyah bukan secara dzohiriyyah. Maka jika engkau mencarinya disini engkau tak akan mendapatinya berhaji sebagaimana mestinya.[]
Begitulah kiranya yang dapat saya ceritakan kembali, semoga menjadi bahan renungan untuk kita semua. Karena dalam beragama bukan hanya tuntutan syariat saja yang harus kita jalankan melainkan inti (hakikat) dari ibadah tersebut. Kalau boleh saya mengutip sedikit saja perkataan mbah Sujiwo Tejo, beliau mengatakan bahwa inti dari ibadah itu bisa mendorong seluruh hatimu untuk menolong orang lain. Itulah inti pergi kemasjid, gereja, wihara, kuil, dan sebagainya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puri Maerokoco, TMII-nya Jawa Tengah yang Luput dari Perhatian Publik

PALUI DAN NGUNGU

DO'A